Minggu, 28 November 2010

Penyesalah Seorang Ray

Malam itu, Adinta berjalan melewati toko di sepanjang jalan. Hatinya gamang. Ia akhir-akhir ini begitu kacau. Ray, sepertinya telah menduakannya. Ia mengetahui hal ini dari sahabat karibnya, Rosa. Ia melihat Ray pergi bersama wanita lain. Bahkan, Ray katanya sempat mencium kening gadis itu. Adinta awalnya tak percaya, tapi kecurigaan Rosa mulai beralasan. Hampir seminggu ini Ray tidak mengabarinya. Menelpon tidak, apalagi sms. Ia pun memutuskan untuk mengahabiskan malam minggu ini sendiri. Ia melangkah gontai menyusuri pertokoan itu. Matanya menatap nanar jalanan di depannya. Tetapi, tiba-tiba ia menangkap sosok yang terasa tak asing lagi. Setelah diperhatikan lebih seksama, ia yakin bahwa laki-laki itu adalah Ray, kekasih hatinya. Tapi, tunggu dulu, siapa gadis yang bersandar mesra dibahunya itu. Perlahan namun pasti, ia mendekati 'pasangan' itu.
"Ray?" ucap Adinta setelah berada di sisi laki-laki itu. Laki-laki yang ternyata adalah Ray itu segera menoleh. Betapa kaget dirinya, melihat kekasihnya berdiri menatapnya dengan tak percaya. "Dinta?" ucapnya diliputi persaan kaget luar biasa. "Kamu kenal dia Ray? Dia siapa kamu sih?" tanya wanita yang sedang bersama Ray. "Dia.. Dia itu... Em... " Ray begitu shock, sehingga tak mampu mengatakan apapun. Adinta tidak habis pikir, mengapa Ray tega berbuat ini padanya? Ia pun berlari meninggalkan Ray dan gadis yang bernama Tasia. Ray segera menahan tangan Adinta yang meronta minta dilepaskan. "Ray, ngapain sih kamu peduliin dia? Dia siapa kamu? Jawab Ray!" rongrong Tasia sambil memegang tangan Ray, mecegahnya untuk pergi mengejar Adinta. "Dia pacar aku! Puas kamu?" jawab Ray tidak sabar. "Apa?! Kamu bilang kamu masih sendiri! Ternyata kamu playboy! Aku benci kamu Ray! Aku benci kamu!" seru Tasia tanpa memedulikan orang lain disekitar mereka.
Dan.. Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Ray. Saat itu juga Adinta melepaskan diri dari cengkeraman Ray. Ia tidak memedulikan Ray lagi yang masih berusaha mengejarnya dan memanggil-manggil namanya. Ia sangat kecewa, ternyata, laki-laki yang selama ini dicintainya adalah playboy. Walaupun ditahan, air matanya pun akhirnya tumpah. Ia terus berlari menembus malam dengan menangis. Kenapa dulu aku mengenal Ray? Kenapa dulu aku menerima Ray? Berbagai pertanyaan berkecamuk dengan hebatnya di kepala Adinta. Setelah puas menyendiri, iapun memutuskan untuk pulang ke rumah. Di taksi, ia hanya berdiam diri memandangi hamparan langit malam. Ya, malam ini adalah malam panjang bagi Adinta.

* * *

Ray berusaha menjelaskan kisah sedih di malam minggu itu kepada Adinta. Tapi, Adinta sepertinya masih marah padanya. Ia terus-terusan menghindari Ray dari pagi hingga pulang sekolah. "Din, Ray nyariin loe tuh. Kayaknya penting banget. Temuin dulu sana.." Bujuk Rosa. "Nggak ah. Gue lagi nggak pengen ketemu dia, apalagi buat ngeliat mukanya." jawab Adinta dengan cueknya. "Loe lagi ada masalah ya, sama Ray? Mau cerita ke gue?" Rosa pun menawarkan bantuan untuk mengurangi rasa suntuk sahabatnya tercinta. "Ternyata, katak-kata loe itu bener. Ray emang selingkuh sama cewek lain yang namanya Tasia." Adinta bercerita sembari bercucuran air mata. "Sabar Din, cowok brengsek kayak dia nggak perlu elo tangisin. Masih banyak yang lebih baik dari Ray. " Hibur Rosa. Ia pun menjadi benci pada Ray karena telah membuat sahabatnya tersayang meneteskan air mata untuk perbuatannya.
Mereka pun pergi hangout bersama sepulang kuliah. Mereka menuju caffe favorit mereka. Disana, mereka menemukan pemandangan yang mengejutkan. Di sudut caffe, mereka melihat Ray duduk sendiri memandang jalanan dibawah. Adinta langsung mengajak Rosa untuk meninggalkan caffe itu. Tapi, Ray keburu melihat mereka berdua. Ia pun tak punya pilihan selain membiarkan Ray datang menemuinya. "Din, aku pengen ngomong sama kamu. Berdua aja." kata Ray sambil menatap tajam pada Rosa. "Ya ngomong aja" jawab Adinta kecut. "Ikut aku" kata Ray tiba-tiba. Iapun langsung menggandenga tangan Adinta. Adinta berusaha melepaskan cengkeraman Ray. Tapi, apa daya.. Tenaga Ray lebih besar daripada tenaganya. Apalagi ia juga belum makan.
Ray mengajak Adinta ke lantai 3 caffe itu. Ia menjelaskan semua yang terjadi pada Adinta. Adinta hanya bisa mendesah perlahan. Susah payah ia membendung air matanya. Ia menyesal, kenapa ia dilahirkan dengan kondisi yang tidak tegaan dan gampang meneteskan air mata. Apa yang dikatakan Ray berikutnya, itulah yang mengagetkan Adinta. "Sebenernya aku sayang banget sama kamu. Kamu masih mau kan nerima cinta aku lagi? Aku nggak siap buat kehilangan kamu, Dinta.." ucap Ray perlahan. Diam-diam, hati Adinta berbunga-bunga juga, walau ia terlalu gengsi untuk mengakuinya. "Aku harap, dihati kamu masih ada sisa cinta buat aku" ucap Ray sembari mengecup tangan Adinta lembut. "Aku tunggu kamu disini jam 8 malam minggu ini. Aku akan kasih jawaban aku ke kamu saat itu juga." Adinta pun langsung meninggalkan Ray begitu saja. Sejujurnya, ada setitik harapan diantara 2 insan itu.
Setelah diinterogasi oleh Rosa mengenai pertemuannya dengan Ray, akhirnya Adinta bisa makan dengan tenang. "Ya udah deh kalo keputusan loe gitu. Gue sih sebagai sahabat yang baik, hanya bisa mendukung dirimu beib.. Hope you luck with your choice" Ucap Rosa bijak. "Thanks Ros.. Loe emang sahabat gue banget!" ucap Dinta bahagia. "Anything for you" jawab Rosa yang diiringi dengan senyuman Dinta.

* * *

Sabtu malam ini, Adinta berjalan ragu menuju lantai 3 caffe diujung jalan itu. Ia menengok ke kanan dan ke kiri untuk menghilangkan rasa takutnya. Ya, takut untuk menjawab pertanyaan yang sempat menggantung di pertemuan yang lalu. Karna sesungguhnya, ia juga belum memiliki jawaban bagi pertanyaan itu. Sampailah ia di sofa di sudut ruangan itu. Ia pun melihat jan di tangan. Ternyata, ia sampai disana 15 menit lebih awal. Iapun memesan minuman dan menunggu sang pujaan hati.
60 menit berlalu. Yang dinanti tak kunjung datang juga. Telpon tak diangkat, sms tak terkirim. Lama-lama, Adinta jengkel sendiri. Iapun memutuskan untuk pulang saja. Setelah ia membayar pesanannya, ia segera meninggalkan caffe dengan hati hancur berkeping-keping. Ia merasa dipermainkan. Lebih sakitnya, dipermainkan oleh 'mantan' kekasihnya yang hampir diterimanya lagi menyandang status sebagai kekasihnya. Ia begitu galau, hatinya hampa. Rasanya mati sudah hatinya.
Tiba-tiba ia melihat 'dia' sedang duduk berdua dengan wanita lain. Adinta tak bisa menahan teriakannya. "Ray!" serunya. Ia tidak lagi memedulikan orang lain disekitar tempat itu. Orang yang bersangkutan segera menoleh. Betapa terkejutnya Ray, sama seperti Adinta. Ia melupakan janji temunya dengan Adinta, dan ia malah pergi berdua dengan wanita lain. Adinta sama terkejutnya. Ia tak menyangka, ternyata Ray lebih memilih wanita lain daripada dirinya. Ia terpaku sesaat menyadari kenyataan ini. Ia pu berlari menjauh ketika Ray berusaha mengejarnya. Ia berlari ke tengah jalanan sepi itu. Ray tetap mengejarnya dan menyerukan namanya. "Dinta! Maafin gue! Gue emang salah, tapi loe harus tau, hati gue cuma buat elo seorang, Din. Gue mohon, jangan tinggalin gue Din! Gue sayang banget sama elo! Kembali Din! Please.." pinta Ray. Air mata bercucuran dari mataku. Aku tak tahu harus berbuat apa. "Gue nggak pedu..." suaraku hilang ditengah sorot lampu dan bunyi klakson yang menderu. Dan saat aku sadar, semua ini begitu cepat.

* * *
"Dintaaa!!!" Ray menjerit sekuat tenaga begitu menyadari Adinta tergeletak tak berdaya di tengan jalan itu. Ya, mobil sedan itu terlanjur menabraknya. Orang-orang segera mengerumuni gadis belia yang kini berlumuran darah itu. Beberapa telah menelpon ambulans. Adinta mencoba membuka matanya. "Ray.." ucapnya menahan sakit. "Gue ada disini Din.." jawab Ray terbata-bata. "Jangan pernah ngeduain orang yang kamu sayang.. Maaf Ray.." ucap Dinta lirih. Setelah itu, dirinya tergeletak sepi sembari tersenyum dalam pangkuan Ray. Ray pun menagis sejadi-jadinya. Ia sungguh menyesali perbuatan bodohnya selama ini. Ia baru sadar, ada orang yang teramat sangat menyayanginya, tapi malah ia sia-siakan. Sekarang, setelah nafasnya berhenti berhembus dan jantungnya berhenti berdetak, barulah ia merasa kehilangan. Ia pasti tak akan menyia-nyiakan Adinta seperti ini jika tahu betapa sakitnya perasaan Adinta. Ia hanya bisa berandai-andai seandainya ia dulu tidak melakukan kesalahan bodoh seperti ini. Ia menyadari, betapa jahatnya ia selama ini. Menduakan orang yang amat disayanginya.
Suasana haru tampak dengan jelas di TPU itu. Ya, Adinta Devorian Arras. Gadis yang masih muda belia, telah menemukan tempat peristirahatan terakhirnya. Biar bagaimana pun, sesal tetap tak dapat dihindari dari diri Ray. Setelah semua kerabat pulang, Ray masih tetap bertahan di sisi peristirahatan terakhir Adinta, mantan kekasihnya yang belum rela ia lepaskan. "Dinta, maafin aku.." isaknya tertahan. Kematian Adinta telah menyadarkannya tentang semua kesalahannya selama ini. Ya, setiap kesalahan yang ia perbuat, dan akibat dari semuanya, yaitu kehilangan kekasih yang dicintainya.

* Selesai *

0 komentar:

Posting Komentar